SAJIAN UTAMA


Setelah kurang lebih tiga tahun dua bulan, dua pelaku kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan diadili. Mereka dituntut dengan hukuman hukuman 1 tahun penjara. Tuntutan ini dinilai janggal oleh Novel.

Penangkapan kedua pelaku penyiraman Novel tersebut dilakukan hanya berselang 11 hari setelah Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Kedua tersangka pun diadili. Namun, Novel menilai proses persidangan kasus ini janggal dan lucu. 
Berikut ini perjalanan kasus penyiraman air keras terhadap Novel hingga terungkapnya dibacakannya tuntutan terhadap kedua terdakwa.
11 April 2017
Kasus ini berawal ketika Novel baru pulang dari sholat shubuh sekitar pukul 05.10 WIB. Tiba-tiba ada dua orang mendekat dan menyiramkan air keras ke mukanya. Saat itu dia teriak hingga memancing perhatian jamaah Masjid Al-Ikhsan tempat Novel sholat.
12 April 2017
Siraman air keras di mata kiri mengharuskan Novel Baswedan diterbangkan ke Singapura untuk menjalani perawatan. Novel dikabarkan operasi di Singapore General Hospital dan sempat memberi keterangan soal sosok jenderal yang diduga menjadi pelaku teror.
31 Juli 2017
Usai memberi keterangan, polisi meminta Novel melapor dan mengirimkan tim untuk konfirmasi. Setelah itu, Kapolri yang saat itu dijabat Jenderal Tito Karnavian melaporkan perkembangan dan menunjukkan sketsa pelaku pada Presiden Joko Widodo.
24 november 2017
Dua sketsa baru wajah pelaku penyerangan ditunjukkan Kapolda Metro jaya yang saat itu dijabat Inspektur Jenderal Idham Azis. Sketsa diperoleh dari keterangan dua orang saksi. Pada 22 februari 2018, Novel Baswedan kembali ke Indonesia dari Singapura langsung menuju KPK.
9 Maret 2018
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim penyelidikan kasus penyerangan Novel Baswedan. Anggota tim adalah Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, pejabat terkait, dan ahli hukum.
27 Juli 2018
Setelah absen untuk menjalani proses perawatan mata, Novel akhirnya kembali aktif di KPK. Novel mengatakan akan bekerja sesuai kemampuannya.
21 Desember 2018
Tim Pemantau kasus Novel bentukan Komnas HAM merekomendasikan pembentukan tim gabungan pencari fakta peristiwa dan pelaku kasus Novel. Presiden diminta memastikan Kapolri membentuk, mendukung, dan mengawasi pelaksanaan tim gabungan.
11 Januari 2019
Polri akhirnya membentuk tim gabungan pengungkapan kasus Novel Baswedan. Tim menyertakan unsur polisi, KPK, akademisi, LSM, Komnas JAM, dan mantan pimpinan KPK. Mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bertindak sebagai penanggung jawab.
11 April 2019
Tim gabungan belum bisa mengungkap pelaku dan motif penyerangan air keras pada Novel Bawedan. Wadah Pegawai (WP) KPK meminta Presiden membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen.
26 Desember 2019
Polisi menyatakan berhasil mengamankan pelaku penyerangan Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Kedua pelaku penyerangan pada Novel adalah anggota polisi aktif. Mereka pun ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini.
11 Juni 2019
Sidang tuntutan digelar. Jaksa meyakini keduanya bersalah melakukan penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan.
Keduanya terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan subsider. Ronny dan Rahmat diyakini jaksa bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melakukan penganiayaan dan terencana lebih dahulu dengan mengakibatkan luka berat," ujar jaksa saat membacakan surat tuntutan di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6).
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dengan hukuman pidana selama 1 tahun," imbuh jaksa.
Menurut Novel, tuntutan itu aneh, janggal dan lucu, seolah JPU pembela terdakwa.
"Terkait dengan tadi yang saya katakan, tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut 1 tahun penjara, ini tergambar sekali bahwa proses persidangan berjalan dengan aneh. Berjalan dengan banyak kejanggalan dan lucu saya katakan," kata Novel Baswedan.
Novel melihat penganiayaan yang dialami tergolong penganiayaan level tinggi. Namun JPU, menurut Novel, justru seolah bertindak layaknya penasihat hukum.
"Kenapa? Kita bisa melihat serangan kepada saya ini serangan atau kalau mau dikonstruksikan sebagai suatu perbuatan penganiayaan, penganiayaan paling tinggi levelnya," ujarnya.
"Dan terkesan penuntut justru malah bertindak penasihat hukum atau pembela dari terdakwa," sambungnya.
Sumber: detik.

Setelah kurang lebih tiga tahun dua bulan, dua pelaku kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan diadili. Mereka dituntut dengan hukuman hukuman 1 tahun penjara. Tuntutan ini dinilai janggal oleh Novel.

Penangkapan kedua pelaku penyiraman Novel tersebut dilakukan hanya berselang 11 hari setelah Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo menjadi Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri.
Kedua tersangka pun diadili. Namun, Novel menilai proses persidangan kasus ini janggal dan lucu. 
Berikut ini perjalanan kasus penyiraman air keras terhadap Novel hingga terungkapnya dibacakannya tuntutan terhadap kedua terdakwa.
11 April 2017
Kasus ini berawal ketika Novel baru pulang dari sholat shubuh sekitar pukul 05.10 WIB. Tiba-tiba ada dua orang mendekat dan menyiramkan air keras ke mukanya. Saat itu dia teriak hingga memancing perhatian jamaah Masjid Al-Ikhsan tempat Novel sholat.
12 April 2017
Siraman air keras di mata kiri mengharuskan Novel Baswedan diterbangkan ke Singapura untuk menjalani perawatan. Novel dikabarkan operasi di Singapore General Hospital dan sempat memberi keterangan soal sosok jenderal yang diduga menjadi pelaku teror.
31 Juli 2017
Usai memberi keterangan, polisi meminta Novel melapor dan mengirimkan tim untuk konfirmasi. Setelah itu, Kapolri yang saat itu dijabat Jenderal Tito Karnavian melaporkan perkembangan dan menunjukkan sketsa pelaku pada Presiden Joko Widodo.
24 november 2017
Dua sketsa baru wajah pelaku penyerangan ditunjukkan Kapolda Metro jaya yang saat itu dijabat Inspektur Jenderal Idham Azis. Sketsa diperoleh dari keterangan dua orang saksi. Pada 22 februari 2018, Novel Baswedan kembali ke Indonesia dari Singapura langsung menuju KPK.
9 Maret 2018
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim penyelidikan kasus penyerangan Novel Baswedan. Anggota tim adalah Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, pejabat terkait, dan ahli hukum.
27 Juli 2018
Setelah absen untuk menjalani proses perawatan mata, Novel akhirnya kembali aktif di KPK. Novel mengatakan akan bekerja sesuai kemampuannya.
21 Desember 2018
Tim Pemantau kasus Novel bentukan Komnas HAM merekomendasikan pembentukan tim gabungan pencari fakta peristiwa dan pelaku kasus Novel. Presiden diminta memastikan Kapolri membentuk, mendukung, dan mengawasi pelaksanaan tim gabungan.
11 Januari 2019
Polri akhirnya membentuk tim gabungan pengungkapan kasus Novel Baswedan. Tim menyertakan unsur polisi, KPK, akademisi, LSM, Komnas JAM, dan mantan pimpinan KPK. Mantan Kapolri Jenderal Tito Karnavian bertindak sebagai penanggung jawab.
11 April 2019
Tim gabungan belum bisa mengungkap pelaku dan motif penyerangan air keras pada Novel Bawedan. Wadah Pegawai (WP) KPK meminta Presiden membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen.
26 Desember 2019
Polisi menyatakan berhasil mengamankan pelaku penyerangan Ronny Bugis dan Rahmat Kadir. Kedua pelaku penyerangan pada Novel adalah anggota polisi aktif. Mereka pun ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus ini.
11 Juni 2019
Sidang tuntutan digelar. Jaksa meyakini keduanya bersalah melakukan penganiayaan berat terhadap Novel Baswedan.
Keduanya terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan subsider. Ronny dan Rahmat diyakini jaksa bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Jakarta Utara yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melakukan penganiayaan dan terencana lebih dahulu dengan mengakibatkan luka berat," ujar jaksa saat membacakan surat tuntutan di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Petojo Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6).
"Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa dengan hukuman pidana selama 1 tahun," imbuh jaksa.
Menurut Novel, tuntutan itu aneh, janggal dan lucu, seolah JPU pembela terdakwa.
"Terkait dengan tadi yang saya katakan, tuntutan yang disampaikan oleh jaksa penuntut 1 tahun penjara, ini tergambar sekali bahwa proses persidangan berjalan dengan aneh. Berjalan dengan banyak kejanggalan dan lucu saya katakan," kata Novel Baswedan.
Novel melihat penganiayaan yang dialami tergolong penganiayaan level tinggi. Namun JPU, menurut Novel, justru seolah bertindak layaknya penasihat hukum.
"Kenapa? Kita bisa melihat serangan kepada saya ini serangan atau kalau mau dikonstruksikan sebagai suatu perbuatan penganiayaan, penganiayaan paling tinggi levelnya," ujarnya.
"Dan terkesan penuntut justru malah bertindak penasihat hukum atau pembela dari terdakwa," sambungnya.
Sumber: detik.


Oleh: Feri Amsari, dosen hukum tata negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, LHKP PP Muhammadiyah. 

Sejak Anies Baswedan diumumkan sebagai calon presiden (capres) Partai NasDem, situasi politik terlihat lebih beriak. Beberapa figur mulai berani menyatakan kesanggupan sebagai capres alternatif. Sementara itu, di sudut lain, partai tertentu terlihat bimbang menentukan capresnya karena ketua umum partai terlihat membuang waktu atau bahkan memiliki preferensi politik berbeda.  

Sikap berbeda pilihan capres itu membawa ketegangan tersendiri. Presiden Joko Widodo saja terbawa perasaan dengan meminta Partai Golkar tidak terburu-buru menentukan capresnya. Namun, tiba-tiba Presiden Jokowi malah kesusu dengan menyatakan bahwa berikutnya ialah 'jatah' Prabowo sebagai presiden. Jadi, itu bukan soal ketidaksabaran Partai NasDem menentukan calon, melainkan partai mana yang lebih gesit menentukan capres sebagai persiapan menghadapi Pemilu 2024. 

Kondisi itu dapat menjadi dilema tidak sehat bagi demokrasi. Padahal, tahapan pemilu sudah berjalan. Apa salahnya menentukan capres? Bahkan, secara matematika pemilu, penentuan capres pada saat ini sudah cukup terlambat sebab partai tidak sekadar harus menghitung terpenuhinya syarat ambang batas pencalonan presiden dan komposisi koalisi yang tepat, tetapi juga mesti bersiap mematangkan strategi pemenangan, model kampanye yang tepat, dan menyusun tim sukses yang solid.    

Ada ego 

Jika jeli mengamati, keterlambatan partai menentukan capres disebabkan ego kader elite partai. Sebagian elite partai berharap dapat merekayasa pencalonan dan memenangi pemilu presiden. Meski tidak ditentukan seluruh kader, elite partai tertentu merasa paling berhak mengendalikan siapa saja yang berhak menjadi capres. Dengan begitu, pemenang sudah dapat ditentukan sebelum hari H pemilu berlangsung.   

Pertarungan elite itu akan menyita waktu. Partai NasDem tentu akan mengalami serangan-serangan politik dan hukum. Konsekuensi itu dalam politik kepemiluan dapat berbuah manis dengan meningkatnya simpati pemilih. Itu sebabnya sikap segera menentukan capres dapat membuyarkan konsolidasi yang belum tuntas partai-partai lain.  

Padahal, pilihan partai menunda pengumuman capres tidak rasional. Apalagi alat ukurnya masih ada elite partai yang berniat menjadi capres. Sementara itu, jika partai logis yang dibaca ialah data survei preferensi pemilih. Meski Partai NasDem telah bersikap, pilihan itu harus berhadapan dengan ambang batas pencalonan presiden yang membutuhkan koalisi dengan partai lain. Tentunya hal itu agar perahu 20% kursi DPR atau 25% suara sah dapat terpenuhi.  

Soliditas partai pengusung harus segera dituntaskan jika menginginkan dampak elektoral yang terbagi rata antara partai-partai pendukung capres. Kian lama koalisi menentukan sikap, dampak elektoral seperti efek ekor jas tuksedo (coat tail effect) hanya akan dinikmati partai yang sungguh-sungguh mengajukan capres. Teori efek ekor jas menjelaskan bahwa partai pengusung akan mendapatkan perimbangan keterpilihan pada kursi parlemen dengan suara yang diperoleh capres. Tentu saja antitesis teori itu ialah partai yang identik dengan capres tertentu. Jika berbalik arah,akan membuyarkan tingkat keterpilihannya.  

Teori efek ekor jas belum terbantahkan sejauh ini. Misalnya, Partai Gerindra memperoleh manfaat dari efek ekor jas itu pada Pemilu 2019. Gerindra berada pada tiga besar partai mayoritas parlemen akibat pengaruh capresnya yang populer saat itu. Kondisi sama juga dirasakan Partai Demokrat yang menguasai parlemen karena popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang meningkat pada Pemilu 2009. Pembelajaran dari fakta politik tersebut ialah partai tidak boleh terkukung hasrat elite. Partai harus membaca kebutuhan pemilih jika tidak ingin mengalami dua kerugian, yaitu telat menemukan capres mumpuni dan telat memetakan kemenangan pemilihan legislatif (DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota). 

Penentuan capres tentu berimbas pada persiapan akar rumput partai memenangi pemilihan legislatif. Calon anggota legislatif akan membawa capres partainya ke daerah-daerah pemilihan. Popularitas capres akan berdampak kepada mereka. Lebih jauh, suara yang diperoleh partai untuk parlemen daerah akan menentukan proses pemilihan kepala daerah November 2024. Kematangan menentukan capres akan menimbulkan efek domino serius bagi partai.  

Efek domino itu bukan tidak disadari partai. Itu sebabnya partai pemerintah meminta partai koalisinya menunda penentuan capres. Padahal,kebijakan itu dapat merugikan partai menengah ke bawah. Dengan kemampuan yang terbatas, partai menengah-bawah tidak mungkin 'berlari' dari garis start yang sama. Kompetisi politik yang sehat itu harus membuka kesempatan bagi partai lain berkembang lebih baik. Ini jelas dilema politik dalam penentuan capres.    

Capres terbaik 

Seluruh partai mengalami kesulitan merancang demokrasi internal dalam penentuan capres. Tidak satu pun partai dapat menentukan capres dengan melibatkan banyak orang. Akibatnya, partai perlu mencari alternatif untuk menemukan capres yang sesuai dengan akar rumput, baik kader partai itu sendiri maupun para pemilih. 

Pengalaman demokrasi sistem presidensial di Amerika perlu dipertimbangkan sebagai pilihan, tentu saja ciri keindonesiaan perlu dipertahankan. Peran elite dalam penentuan capres juga bagian dari sejarah Amerika. Sejak 1830-an, capres Amerika ditentukan melalui konvensi nasional partai. Elite yang tersentralistik menentukan arah penentuan capres.  

Perubahan terjadi pada 1970-an ketika capres ditentukan berdasarkan suara organisasi partai setiap negara bagian. Partai di negara bagian memilih delegasi untuk memberikan suara pada konvensi nasional partai. Konsep ini acap kali menimbulkan sengketa internal partai karena delegasi cenderung menyimpangkan pilihan. Persis sama dengan yang terjadi di Indonesia dalam kongres partai-partai tertentu yang kadang berujung perpecahan partai.  

Saat ini, di Amerika, partai di negara bagian cenderung melaksanakan pemilihan pendahuluan untuk capres (presidential primaries) untuk mengukur tingkat preferensi pemilih internal dan masyarakat luas. Hasilnya akan dibawa ke konvensi nasional partai. Konsep tersebut berlangsung terbuka dan capres tidak mungkin mengandalkan peran elite semata, tetapi juga harus mampu mengesankan pemilih internalnya terlebih dulu sebelum dipilih masyarakat luas. Dengan begitu, capres yang keluar dipastikan memiliki kapasitas di atas rata-rata. 

Model konvensi Amerika memang pernah diterapkan beberapa partai Indonesia. Gagal karena memang diselenggarakan atas nama kepentingan elite. Dengan waktu yang teramat pendek, secara logis, tidak mungkin bagi partai untuk melaksanakan konsep Amerika itu. Pilihan partai ialah memastikan capres pilihan elite agar sesuai dengan aspirasi pemilih, apakah melalui survei atau 'memeras' big data. Yang jelas, siapa pun capres yang akan memenangi 2024, ialah capres yang dekat dengan pilihan rakyat. Elite partai yang jeli akan mengumumkan capres rakyat itu sebelum terlambat. Itulah capres yang terbaik bagi rakyat.


Sumber: mediaindonesia


Oleh: Saiful Huda Ems (SHE), pengacara dan pengamat politik.

Menjadi aktivis politik di era kepemimpinan Jokowi memang tidak mudah, mereka akan dituntut oleh keadaan untuk hanya berpihak di salah satu kelompok saja: kelompok pendukung Pemerintahan Jokowi atau kelompok yang kontra dengan Pemerintahan Jokowi. Jika anda mendukung Pemerintahan Jokowi akan dicap sebagai Cebong atau Jokower, sedangkan jika anda mendukung kelompok yang kontra dengan Pemerintahan Jokowi, anda akan dicap sebagai Kampret atau Kadrun. Berada di posisi netral anda akan "ditabrak" oleh kedua arus besar itu, hasilnya anda akan dikucilkan dalam dunia aktivis pergerakan. Tragis memang...


Padahal sesungguhnya menjadi aktivis politik merupakan panggilan juang dari sebuah nurani kemanusiaan untuk menyikapi keadaan. Mau menentukan pilihan politik pada siapa saja, kelompok mana saja tidak menjadi masalah, yang terpenting harus diperhatikan adalah memiliki prinsip juang yang tak boleh mudah berubah, tak boleh menghalalkan segala cara. Komitmen dan konsistensi harus tetap dimiliki oleh pribadi aktivis politik, tak boleh pragmatis namun boleh realistis. Tak boleh oportunis namun harus tetap idealis. Tak boleh mudah terbawa arus tapi harus kritis meski tetap diberi ruang untuk kooperatif. 

Noel panggilan akrab dari Immanuel Ebenezer yang menjadi Ketua Umum Jokowi Mania (Joman), pernah mencoba keluar dari pakem aktivis politik seperti yang saya jelaskan di atas. Ia pernah menjadi saksi meringankan (A de Charge) dari tersangka (sekarang narapidana-Pen.) teroris Munarman di pengadilan, apa yang kemudian terjadi pada Noel? Ia dihujat oleh banyak pendukung Pemerintahan Jokowi, karena Noel dianggap telah membela teroris Munarman. Padahal jika kita pelajari lebih dalam, maksud Noel membela Munarman itu hanyalah sebuah strategi dari politik Noel yang selama ini menjadi salah satu pendukung berat Pemerintahan Jokowi, agar Noel bisa lebih dalam masuk ke sarang FPI dan mencoba menetralisir FPI dari pengaruh infiltran pendukung Khilafah Islamiyah. 

Meski demikian Noel tetap dihujat hingga akhirnya ia dipecat dari jabatannya sebagai komisaris salah satu anak BUMN. Noel diinjak dan di sisi lain Erick Tohir yang memecatnya, diangkat tinggi-tinggi sebagai pejabat pemerintah yang dianggap tegas dan konsisten melawan terorisme dan radikalisme. Padahal jika kita mau telusuri rekam jejaknya, sejak kapan Menteri BUMN Erick Tohir berjasa melawan terorisme dan radikalisme? Apakah hanya dengan memecat Noel dari jabatannya sebagai Komisaris, Erick bisa dianggap sebagai pejabat yang tegas terhadap terorisme dan radikalisme? Noel sampai kini tetap membela Pemerintahan Jokowi, Pancasila dan NKRI, karenanya Noel sekarang mengetuai Ganjar Pranowo Mania (GP Mania). Noel tidak memiliki riwayat sebagai teroris dan radikalis.

Harus saya akui, ketika Noel menjadi saksi meringankan (A de Charge) bagi tersangka teroris Munarman, sayapun marah dan melawan Noel serta turut mendesak agar Pemerintah memecat Noel dari jabatannya sebagai komisaris. Tetapi ketika Noel diam-diam menghubungi saya dan menjelaskan maksudnya secara meyakinkan, saya mempercayainya dan kemudian berhenti melawannya. Konsistensi Noel membela Pemerintahan Jokowi, Pancasila dan NKRI pun terbukti, yakni ketika ia bersama teman-temannya mendirikan Ganjar Pranowo Mania (GP Mania). Mudah-mudahan para pendukung Pemerintahan Jokowi tak lagi menyinyiri Noel sebagai Ketum Jongos Munarman (Joman). 

Hidup di tengah keterbelahan bangsa seperti ini semua pihak dituntut untuk bisa saling pandai-pandai menahan diri. Jangan mudah menghakimi seseorang yang meyakini pilihan politiknya sendiri. Asal tetap mau tunduk dan setia pada Pancasila dan UUD '45, asal mau tetap hormat pada Sang Saka Merah Putih dan Pemerintahan yang sah, maka kita semua bersaudara dan harus saling mengharumkan antara satu dengan yang lainnya. Kecuali jika ada yang masih teriak-teriak di jalanan, atau secara sembunyi-sembunyi mengusung agenda Ganti Sistem Demokrasi Pancasila dengan Sistem Khilafah Islamiyah, ya sikat saja, tangkapi semua, proses hukum dan jebloskan ke penjara. Ini baru namanya Indonesia yang merdeka dan berdaulat dengan Ideologi Negaranya, Pancasila yang kuat dan jaya !...(SHE).

Sabtu, 5 November 2022.